MAKALAH
PENGELOLAAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN SUDUT PANDANG 3
ASPEK (EKONOMI, MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN)
DI SUSUN OLEH
NAMA : IRFAN
NIM : 15.1.2.0284
FAKULTAS ILMU PERTANIAN
UNIVERSITAS NADHLATUL WATHAN MATARAM TAHUN 2017
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai asset nasional berupa pertanian lahan kering sekitar 111,4 juta ha atau 58,5% dari luas seluruh daratan (Notohadiprawiro, 1989). Pertanian lahan kering mempunyai kondisi fisik dan potensi lahan sangat beragam dengan kondisi sosial ekonomi petani umumnya kurang mampu dengan sumberdaya lahan pertanian terbatas. Selanjutnya Sudharto et al. (1995 dalam Syam et al. 1996) mengemukakan bahwa lahan kering merupakan sumberdaya pertanian terbesar ditinjau dari segi luasnya, namun profil usahatani pada agroekosistem ini sebahagian masih diwarnai oleh rendahnya produksi yang berkaitan erat dengan rendahnya produktivitas lahan. Di beberapa daerah telah terjadi degradasi lahan karena kurang cermatnya pengelolaan konvensional dan menyebabkan petani tidak mampu meningkatkan pendapatannya. Berdasarkan kendala-kendala tersebut, maka untuk menjamin produksi pertanian yang cukup tinggi secara berkelanjutan diperlukan suatu konsep yang aktual dan perencanaan yang tepat untuk memanfaatkan sumberdaya lahan khususnya lahan kering.
Lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan ini memiliki kondisi agro-ekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi kemantapan lahan yang labil (peka terhadap erosi) terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Untuk usaha pertanian lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan, yaitu lahan kering berbasis palawija (tegalan), lahan kering berbasis sayuran (dataran tinggi) dan pekarangan. Menurut Ford Foundation (1989), terdapat tiga permasalahan utama usahatani lahan kering, yaitu: erosi (terutama bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi secara rapat), kesuburan tanah (umumnya rendah sebagai akibat dari proses erosi yang berlanjut), dan ketersediaan air (sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan). Ciri lainnya adalah makin menurunnya produktifitas lahan (leveling off), tingginya variabilitas kesuburan tanah dan macam spesies tanaman yang ditanam, memudarnya modal sosial-ekonomi dan budaya, rendah atau tidak optimalnya adopsi teknologi maju, serta terbatasnya ketersediaan modal dan infrastruktur yang tidak sebaik di daerah sawah.
Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang
dirancang secara sistematis menggunakan akal sehat dan usaha keras yang
berkesinambungan sehingga pertanian itu sangat poduktif secara terus menerus,
mer CFupakan habitat tenaga kerja yang
baik untuk jumlah yang besar dan meupakan suatu usaha yang menguntungkan.
Dengan demikian, pertanian semacam ini akan menghasilkan produksi pertanian
yang cukup tinggi dan memberikan penghasilan yang layak bagi petani secara
berkelanjutan, sehingga mereka dapat merancang masa depannya sendiri.
Disamping itu, juga harus menghasilkan spektrum produksi yang luas sehingga
dapat menyediakan bahan baku berbagai agroindustri dan produk-produk eksport
secara lestari. Selanjutnya akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah
besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, dengan demikian daerah pertanian ini
akan menjadi penyerap hasil-hasil industri (Sinukaban, 1995).
1.2 Tujuan.
1.2 Tujuan.
Tujuan pembuatan makalah ini ialah untuk mengatahui
Penerapan pertanian organik yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di
lahan kering
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 3 Aspek Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan
1. Strategi Pengelolaan Lahan Kering
Dari Aspek Biofisik
Aspek biofisik pada suatu sistem pengelolaan pertanian
lahan kering meliputi faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan dan
kesesuaian lahan serta peningkatan kualitas dan produktivitas lahan. Paket
teknologi alternatif yang akan diterapkan dalam rangka peningkatan kualitas dan
produktivitas lahan haruslah dapat memberikan kompensasi keterbatasan kemampuan
alamiah lahan tersebut. Dalam hal ini teknologi yang sesuai adalah teknologi
tepat guna yang mengutamakan daya dukung lahan, baik dilihat dari upaya
mengeliminasi pengaruh erosi maupun faktor-faktor pembatas kesuburan tanah dan
keterbatasan ketersediaan air.
Penerapan teknologi tersebut dapat berbeda antara
wilayah tangkapan hujan (pluvial), wilayah konservasi air dan
wilayah pengguna air.
Bagi wilayah tangkapan hujan, penerapan teknologinya
ditujukan untuk:
1. Memperbesar infiltrasi dan
perkolasi untuk memperkaya air tanah dan debit sumber-sumber arteris.
2. Mempertinggi daya simpan air
tanah melalui penghijauan dan reboisasi
Pada wilayah konservasi air (freatik) difokuskan
pada upaya sebagai berikut:
1. Mencegah erosi lapisan tanah
melalui penerapan sistem olah tanah konservasi, pemberian mulsa organik,
pembuatan terasering dan pertanaman menurut kontur, system budidaya tanaman
lorong (Alley cropping).
2. Memperbesar daya tampungan air
hujan dan air permukaan melalui pembuatan tandon air, bendungan dan embun.
Hasil panenan air hujan di wilayah lahan kering dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan air paska musim hujan.
Sedangkan
implimentasi teknologi di wilayah pengguna air diarahkan pada tindakan :
a. Meningkatkan efisiensi
pemanfaatan air melalui pemilihan varietas
komoditas tanaman pangan yang
toleran terhadap kekeringan, pengembangan pola pertanaman campuran pangan -
legum serta rotasi tanaman
b. Merawat kesuburan tanah melalui konsep pengelolaan pertanian organik yang
ramah lingkungan dan sistem olah tanah konservasi. Teknologi budidaya yang
memadukan konsep efisiensi pemanfaatan air dan perawatan kesuburan tanah di
lahan kering telah banyak tersedia.
2. Strategi Pengelolaan Lahan Kering
Dari Aspek Ekonomi
Tinjauan aspek ekonomi dalam kaitannya dengan
pengembangan lahan kering sebagai lahan produktif meliputi: (a) Manfaat
finansial dan ekonomi bagi unit pelaku usaha, dan (b) Manfaat secara luas bagi
pengembangan ekonomi wilayah. Untuk itu diperlukan analisis kelayakan usaha
ditinjau dari sudut kepentingan pelaku usaha dan kelayakan dari sudut
kepentingan sosial ekonomi secara keseluruhan. Salah satu contohnya adalah
introduksi teknologi budidaya konservasi di lahan kering melalui pengaturan
pola tanam tumpang gilir legum- tanaman pangan disertai aplikasi keseimbangan
pupuk anorganik-organik dan hayati dan pemanenan air hujan. Dengan demikian,
strategi pengelolaan pertanian lahan kering tidak hanya sekedar berorientasi
pada peningkatan produktivitas lahan tetapi harus merupakan strategi jangka
panjang untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah/lingkungan.
3. Strategi Pengelolaan Lahan Kering Dari Aspek
Sosial-Budaya
a. Aspek sosial-budaya yang menjadi
prasyarat penting dalam pengembangan lahan kering adalah peran aktif
masyarakat. Terkait dengan aspek ini, strategi pengelolaan lahan kering yang
diterapkan harus mampu menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam
berbagai kegiatan pertanian. Dalam hal ini diperlukan perlibatan berbagai
pihak, pemerintah, LSM, investor dan tokoh informal masyarakat sebagai
dinamisator. Bentuk-bentuk kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan SDM dapat
dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan, ataupun penyampaian informasi lain
yang dibutuhkan masyarakat. Dalam hubungannya dengan pencapian tujuan dari
pengembangan lahan kering, hendaknya kegiatan penyuluhan ìni, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi dan pengawasan serta pengendalian.
b. Pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan serta pengendalian.
c. Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung pengembangan
kelembagaan.
d. Penataan keterkaitan sosial dan ekonomi antara masyarakat daerah hulu dan
hilir, antara masyarakat perkotaan dan pedesaan.
e. Penegakan hukum yang mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan.
f. Pola pengembangan pertanian lahan kering seharusnya teragenda di dalam
Renstra Pemerintah Daerah.
2.2 Sistem Tebas- Bakar Mengkritiskan Lahan Kering
Kawasan
lahan pertanian cukup luas dan merupakan lumbung makanan bagi masyarakat tani
yang mengandalkan hidupnya dari hasil pertanian. Dengan demikian perlu
ditemukan sistem pertanian yang paling sesuai dan bersifat melestarikan sumber
daya alam pertanian yang merupakan kekayaan yang dimiliki petani.
Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan mengingat sistem pertanian yang dilakukan di lahan kering sampai saat ini sebaian besar masih berupa tebas-bakar dan sudah mulai pada lahan yang tetap sama dari tahun ke tahun akibat semakin sempitnya lahan yang ada. Sistem tebas-bakar ini tidak begitu menjadi masalah apabila disertai dengan rotasi lahan dalam kurun waktu yang cukup lama (15 – 20 tahun). Namun kenyataan yang banyak dijumpai di Nusa Tenggara adalah lahan dibabat dan dibakar menjelang musim hujan setiap tahunnya tanpa metode pengawetan tanah, untuk ditanami jagung, padi ladang dll. . Kemiringan lahan yang cukup besar dengan curah hujan yang relatip banyak dan intensitas yang tinggi memperbesar timgkat erosi dn mempercepat terbentuknya tanah kritis.
Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan mengingat sistem pertanian yang dilakukan di lahan kering sampai saat ini sebaian besar masih berupa tebas-bakar dan sudah mulai pada lahan yang tetap sama dari tahun ke tahun akibat semakin sempitnya lahan yang ada. Sistem tebas-bakar ini tidak begitu menjadi masalah apabila disertai dengan rotasi lahan dalam kurun waktu yang cukup lama (15 – 20 tahun). Namun kenyataan yang banyak dijumpai di Nusa Tenggara adalah lahan dibabat dan dibakar menjelang musim hujan setiap tahunnya tanpa metode pengawetan tanah, untuk ditanami jagung, padi ladang dll. . Kemiringan lahan yang cukup besar dengan curah hujan yang relatip banyak dan intensitas yang tinggi memperbesar timgkat erosi dn mempercepat terbentuknya tanah kritis.
Maka
perlu dipikirkan dan ditemukan alternatip sistem pertanian lainnya yang dapat
diterapkan dilahan miring untuk sumber pangan berupa palawija namun tetap mampu
berproduksi tinggi dan lestari. Salah satu dari sekian banyak sistem yang ada
yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah pertanian organik.
2.2 Pengertian Pertanian
Organik.
Menurut
USDA Study Term on Organic Farming, pertanian organik dirangkum dalam
pengertian sebagai berikut :
“Pertanian organik merupakan suatu sistem produksi
yang menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk kimia (pabrik),
pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan adiktif pakan”.
Sampai
tingkat maksimum yang dimungkinkan, sistem pertanian organik bersandar pada
pergiliran tanaman, mendaur ulang sisa pertanaman, pupuk kandang atau kotoran
ternak, legum, pupuk hijau, limbah organik dari luar usaha tani, kompos,
penyiangan mekanik, batuan pengandung mineral dan aspek pengendalian hama
secara biologis, untuk mempertahankan produktivitas dan kegemburan tanah, untuk
memasok hara tanaman, dan untuk mengendalikan hama, gulma dan jasad merugikan
lainnya (Yougberg & Dittel, 1984 dalam Rachman Sutanto, 1991).
Dari
pengertian diatas maka ynag dimaksud pertanian organik bukan berarti bertani
yang masih primitip maupun ketinggalan jaman (tradisional) dan anti teknologi
masukan tinggi seperti pupuk buatan maupun pestisida buatan, melainkan
merupakan cara bertani yang berusaha menyelaraskan hubungan antara manusia dan
lingkungan sehingga kerusakan yang mungkin terjadi pada lingkungan pertanian
akibat penggunaan teknologi masukan tinggi dapat ditekan atau bahkan
ditiadakan. Dalam pengertian ini maka manusia harus menyadari secara mendalam
bahwa dirinya merupakan bagian dari alam sehingga kerusakan yang terjadi pada
alam pertanian dengan sendirinya akan merusak dan mengancam kehidupan manusia.
Pandangan yang utuh dan integral semacam ini sebenarnya sudah ada dalam
masyarakat tani pedesaan, hanya saja mereka seringkali belum dapat menjelaskan
secara nalar sehingga sering dijumpai dalam bentuk mitos maupun yang berbentuk
mistik.
2.3 Pengenalan Dan
Penerapan Pertanian Organik Di Lahan Kering.
Dilapangan
sering kita jumpai benturan kepentingan antara pembuat program, petugas
lapangan pertanian (PPL) dengan para petani. Pada umumnya benturan terjadi
karena adanya kesenjangan dalm hal pendapat, cara berpikir, pengetahuan,
teknologi yang dikuasai maupun status sosial dsb.
Sebagai
contoh kasus pertama kesenjangan tersebut adalah pengenalan pupuk buatan pada
petani didaerah pedesaan sering berjalan kurang mulus dan terjadi penolakan
karena belum dikenalkan dengan pupuk tersebut dan belum tahu kegunaan maupun
karena kurangnya informasi dari luar. Dalam kasus ini para pembuat program
maupun PPL beranggapan bahwa kemajuan pertanian hanya dapat dicapai jika petani
mau memakai pupuk buatan,. Dan sering terjadi penerapan penggunaan pupuk buatan
oleh petani merupakan target kerja yang harus tercapai untuk meunjukkan
prestasi kerja dan peningkatan karir. Sementara para petani yang kebanyakan
berpendidikan rendah kurang cepat menerima penjelasan tentang cara-cara dan
keuntungan penggunaan pupuk buatan. Maka jika program pemakaian pupuk buatan
dipaksakan, mungkin akan terjadi pupuk buatan yang berharga hanya disimpan atau
bahkan dibuang begitu saja.
Dari kasus diatas kita dapat belajar bahwa tidak semua program pertanian yang berupa paket teknologi dapat diaplikasi oleh semua petani. Sebagai pembuat program dan PPL maka harus secepatnya mencari jalan tengah penyelesaian masalah tersebut.
Penggunaan pupuk alam baik pupuk kandang atau kotoran ternak, pupuk hijau, legum maupun limbah organik yang dikomposkan dapat menjadi alternatip penyelesaian masalah ini.
Dari kasus diatas kita dapat belajar bahwa tidak semua program pertanian yang berupa paket teknologi dapat diaplikasi oleh semua petani. Sebagai pembuat program dan PPL maka harus secepatnya mencari jalan tengah penyelesaian masalah tersebut.
Penggunaan pupuk alam baik pupuk kandang atau kotoran ternak, pupuk hijau, legum maupun limbah organik yang dikomposkan dapat menjadi alternatip penyelesaian masalah ini.
Keuntungan dari penggunaan pupuk alam ini sangat besar
antara lain :
§
Para petani sederhana
dapat memanfaatkan potensi lokal yang ada disekitarnya baik berupa kotoran
ternak, legum, humus, rumput-rumputan dari gulma dsb.
§
Mengurangi tingkat
pencemaran dari limbah rumah tangga dan meningkatkan kesehatan lingkungan karena
semua sampah dikomposkan.
§
Mampu menekan ongkos
produksi (efisiensi) karena tidak perlu membeli pupuk buatan serta mengurangi
ketergantungan dari pihak luar (pabrik pupuk, penyalur/KUD dsb).
§
Pupuk alam mempunyai
kelebihan dalam hal menyimpan lengas tanah sehingga melindungi terhadap
kekeringan, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan unsur hara makro dan
mikro, mengurangi erosi, mengatur pH, menambah kandungan mikroorganisme yang
emmbantu proses biologis tanah dsb.
§
Para petani tertarik
utnuk melaksanakan hutan-tani (Agroforestry) yakni suatu sistem produksi
biologi yang dengan sengaja menggabungkan pohon dan ternak dengan pertanaman,
ternak, atau faktor produksi pertanian lainnya seperti perkebunan, tanaman
buah-buahan dsb. Pupuk hijau didapat dengan menanam tanaman legume yang
sekaligus dapat berfungsi menahan erosi seperti kaliandra, gamal, turi, lamtoro
dsb. Pupuk kandang didapatkan dari hasil kotoran ternak, sedangkan kompos
didapat dari sisa pangkasan/cabutan gulma dengan kotoran segar.
Memang dalam pelaksanaan tidak
begitu mudah, karena ada anggapan bahwa petani yang menerapkan pertanian
organik adalah petani yang anti pupuk buatan, bahkan mungkin dapat pula
dituding anti pembangunan. Ada pula yang berpendapat bahwa penggunaan pupuk
alam sudah ketinggalan jaman, tidak modern dsb, padahal dibalik pernyataan
tersebut mungkin timbul kekhawatiran pendapatan/ keuntungan ditingkat pengecer
pupuk, KUD bahkan menyangkut kelangsungan hidup pabrik pembuat pupuk buatan.
Dan jika hal ini terjadi, maka seharusnya
pihak petani yang harus dilindungi, dibela dan jangan disudutkan untuk dipaksa
menggunakan pupuk buatan. Petani diberi kebebasan untuk mengelola lahan sesuai
dengan prinsip yang dianutnya. Campur tangan yang terlalu banyak kedalam hidup
petani jika tidak hati-hati akan sangat merugikan petani dan hal ini
bertentangan dengan tujuan pembangunan pertanian yakni peningkatan taraf hidup
petani dan keluarganya.
Contoh kasus yang kedua adalah pengenalan dan penggunaan pestisida buatan/ pabrik pada masyarakat tani yang masih sederhana akan dapat menimbulkan masalah jika kurang hati-hati dalam pelaksanaannya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa pestisida buatan sangat membantu dan menimbulkan manfaat yang luas terhadap kehidupan manusia apabila dugunakan secara bijaksana. Penggunaan pestisida yang sembarangan dan tidak menuruti aturan akan berdampak negatip yang meluas, merugikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi kelangsungan hidup manusia. Harus disadari bahwa bagaimanapun hebat manfaat pestisida, kita tidak boleh lupa pestisida tetap mempunyai sifat meracun dan mempunyai daya bunuh yang tidak selektip, artinya selain selain membunuh organisme yang ditargetkan (misal wereng), namun juga akan membunuh organisme lainnya yang bukan sasaran (misal lebah madu), predator dll. Dampak negatip lainnya adalah kemungkinan terjadinya peledakan hama kembali., dan didapatkannya residu pestisida dalam berbagai komoditi pertanian dan berbagai kompoenn lingkungan (Nani Djuangsih, 1990).
Dalam menghadapi masalah ini, pembuat program dan PPL harus bijak untuk menilai apakah masyarakat tani binaannya sudah dapat dan mampu mengelola dan menggunakan pestisida pabrik dengan baik atau belum. Jika belum, maka dapat dicari jalan untuk mengatasi hama dn penyakit dengan pengendalian cara lain yang lebih aman tanpa harus memaksa petani menggunakan pestisida pabrik yang beresiko cukup tinggi. Program Pengendalian Hama terpadu (PHT) yang sedang digalakkan pemerintah secara jelas menyatakan bahwa pestisida pabruik merupakan alternatip terakhir apabila cara pengendalian lain sudah tidak mampu lagi.
Pengendalian secara mekanis, fisis, budidaya, hayati, tanaman tahan sebaiknya dikenalkan lebih dulu kepada petani dan tidak menggunakan jalan pintas untuk langsung mengenalkan pestisida pabrik pada petani. Jadi usaha yang dilakukan pemerintah sekarang ini menuju ke pertanian lestari.
Dari kedua contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
Perlu adanya kehati-hatian dalam mengenalkan paket bantuan teknologi tinggi seperti pupuk buatan, pestisida pabrik dll pada petani sederhana di Nusa Tenggara.
Contoh kasus yang kedua adalah pengenalan dan penggunaan pestisida buatan/ pabrik pada masyarakat tani yang masih sederhana akan dapat menimbulkan masalah jika kurang hati-hati dalam pelaksanaannya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa pestisida buatan sangat membantu dan menimbulkan manfaat yang luas terhadap kehidupan manusia apabila dugunakan secara bijaksana. Penggunaan pestisida yang sembarangan dan tidak menuruti aturan akan berdampak negatip yang meluas, merugikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi kelangsungan hidup manusia. Harus disadari bahwa bagaimanapun hebat manfaat pestisida, kita tidak boleh lupa pestisida tetap mempunyai sifat meracun dan mempunyai daya bunuh yang tidak selektip, artinya selain selain membunuh organisme yang ditargetkan (misal wereng), namun juga akan membunuh organisme lainnya yang bukan sasaran (misal lebah madu), predator dll. Dampak negatip lainnya adalah kemungkinan terjadinya peledakan hama kembali., dan didapatkannya residu pestisida dalam berbagai komoditi pertanian dan berbagai kompoenn lingkungan (Nani Djuangsih, 1990).
Dalam menghadapi masalah ini, pembuat program dan PPL harus bijak untuk menilai apakah masyarakat tani binaannya sudah dapat dan mampu mengelola dan menggunakan pestisida pabrik dengan baik atau belum. Jika belum, maka dapat dicari jalan untuk mengatasi hama dn penyakit dengan pengendalian cara lain yang lebih aman tanpa harus memaksa petani menggunakan pestisida pabrik yang beresiko cukup tinggi. Program Pengendalian Hama terpadu (PHT) yang sedang digalakkan pemerintah secara jelas menyatakan bahwa pestisida pabruik merupakan alternatip terakhir apabila cara pengendalian lain sudah tidak mampu lagi.
Pengendalian secara mekanis, fisis, budidaya, hayati, tanaman tahan sebaiknya dikenalkan lebih dulu kepada petani dan tidak menggunakan jalan pintas untuk langsung mengenalkan pestisida pabrik pada petani. Jadi usaha yang dilakukan pemerintah sekarang ini menuju ke pertanian lestari.
Dari kedua contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
Perlu adanya kehati-hatian dalam mengenalkan paket bantuan teknologi tinggi seperti pupuk buatan, pestisida pabrik dll pada petani sederhana di Nusa Tenggara.
1. Pertanian organik sangat relevan utnuk diterapkan
dilahan kering Nusa Tenggara mengingat keuntungan yang diperoleh petani dan
ketidaktergantungan petani pada pihak luar sehingga kenaikan harga saprotan
tidak meresahkan petani kecil..
2. Pertanian organik untuk pengembangannya dapat
diarahkan menuju Wana-tani (Agroforestry).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Keadaan geografis alam Indonesia
yang sebagian besar lahan pertanian yang sebagian lahan kering berupa
pegunungan serta kondisi perekonomian masyarakat tani yang cenderung masih
subsisten merupakan kendala bagi penerapan teknologi tinggi dan sebaiknya
komsep pembangunan pertanian lebih diarahkan “kembali ke alam” memanfaatkan
potensi lokal yang tersedia serta lebih menjamin kearah pembangunan pertanian
yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yakni konsep pertanian organik
yang mengarah ke hutan tani. Konsep pertanian organik sudah lebih dikenal dan
tidak asing lagi bagi masyarakat tani kecil.
3.2
Saran
Semoga kita menyadari bahwa alam
hanyalah titipan dari anak cucu kita yang harus dijaga kelestariannya sehingga
kita tidak mewariskan masalah yang besar karena kesalahan dan keserakahan yang
kita perbuat.
DAFTAR PUSTAKA
3.
http://lppm.ums.ac.id/index.php/berita-kegiatan/188-optimalisasi-lahan-kering-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar